🕵️ Polisi Tetapkan 24 Tersangka Sindikat Judi Online Komdigi

Judi Online

Polda Metro Jaya telah menetapkan 24 orang sebagai tersangka dalam kasus mafia judi online (judol) yang melibatkan oknum pegawai Komdigi. Dari jumlah tersebut, 4 orang masih berstatus DPO (daftar pencarian orang).

Para tersangka termasuk bandar, agen, pengepul, hingga pegawai Komdigi yang seharusnya bertugas memblokir situs judi justru memanfaatkannya untuk keuntungan pribadi.


➡️ Pembagian Peran Para Tersangka

Polisi telah mengungkap struktur peran sindikat tersebut:

  • 4 orang sebagai bandar/pengelola situs judi (inisial A, BN, HE, J – satu DPO)
  • 7 orang bertindak sebagai agen pencari situs, termasuk inisial B, BS, HF, BK, JH, F, dan C (beberapa berstatus DPO)
  • 3 orang sebagai pengepul daftar situs dan penampung setoran agen (A alias M, MN, DM)
  • 2 orang (AK, AJ) sebagai tanggung jawab memverifikasi situs judi agar tidak diblokir
  • 9 pegawai Komdigi (DI, FD, SA, YR, YP, RP, AP, RD, RR) justru menangani pemblokiran situs judi untuk menjaganya agar tetap hidup
  • 2 orang berperan melakukan TPPU (D dan E).

đź’° Barang Bukti yang Disita

Polda menyita aset senilai Rp 150–167 miliar, termasuk:

  • Uang tunai dalam berbagai mata uang senilai ratusan miliar rupiah
  • Beberapa unit mobil, motor, jam tangan mewah, emas batangan, dan karya seni
  • Aset elektronik seperti smartphone, laptop, dan komputer
  • Puluhan rekening yang dimanfaatkan untuk aliran dana judi serta aset lain—jumlah total sitaan mencapai Rp 167 miliar.

⚖️ Landasan Hukum & Ancaman Hukuman

Para tersangka dikenai berbagai pasal dari:

  • Pasal 303 KUHP (perjudian umum)
  • Undang-Undang ITE (UU Nomor 1 Tahun 2024 jo. Pasal 27 ayat (2) pasal 45 ayat (3)) mengenai distribusi konten ilegal
  • Undang‑Undang TPPU (Nomor 8 Tahun 2010), juncto KUHP Pasal 55 dan 56 terkait pencucian uang
    Ancaman hukuman maksimal mencapai 10–20 tahun penjara dan denda hingga Rp 1 miliar.

🔍 Kronologi Penyelidikan

Polisi pertama kali mencium praktik ini saat mengusut situs judi bernama Sultan Menang. Penyelidikan mengarah ke keberadaan “kantor satelit” terindikasi di Bekasi, tempat pegawai Komdigi diduga melakukan filtering serta menerima bayaran dari pemilik situs agar tidak diblokir.

Setiap situs judi konon membayar Rp 8,5 juta setiap dua minggu kepada kelompok yang menjaga akses agar web tetap aktif—modus eksploitasi wewenang pegawai pemerintah agar situs judi tetap bisa digunakan.


📊 Dampak & Respons Pemerintah

  • Komdigi (Kementerian Komunikasi dan Digital) mengaku telah memblokir sekitar 187 ribu situs judi online dalam 10 hari sebelum pengungkapan kasus ini. Menteri Meutya Hafid menyatakan akan membersihkan kementerian dari oknum yang terlibat, dan telah menginstruksikan seluruh pegawai menandatangani pakta integritas untuk tidak berafiliasi dengan judi online.
  • Komentar dari publik, seperti di Reddit, menyoroti bahwa praktik iklan judi semakin licin dengan teknik redirect via Google Search dan metode SEO agresif, serta praktik trafficking admin judol secara ilegal di luar negeri.

📝 Kesimpulan & Rekomendasi

Kasus sindikat judi daring ini bukan hanya soal bandar kecil, melainkan telah mengorupsi sistem pemerintahan di Kementerian Komunikasi dan Digital. Fakta bahwa oknum yang seharusnya memblokir situs judi malah memanfaatkannya untuk korupsi internal menjadikan kasus ini sangat serius.

Langkah strategis yang perlu dijalankan:

  1. Pemeriksaan intensif terhadap pejabat dan pegawai Komdigi lainnya terkait kemungkinan keterlibatan.
  2. Pengejaran terhadap DPO yang masih buron untuk memperkuat penegakan hukum.
  3. Pemblokiran sistem pembayaran dan rekening terkait judi lewat kerja sama PPATK dan penyedia fintech.
  4. Edukasi publik untuk meningkatkan literasi digital dan kesadaran bahaya judi online.
  5. Pengawasan internal kelembagaan pemerintah, terutama di sektor yang berhubungan dengan akses informasi publik dan keamanan digital.

Kasus Judol Komdigi adalah contoh nyata bagaimana kekuasaan digital jika disalahgunakan dapat menimbulkan kerugian sistemik. Upaya penegakan hukum ini merupakan refleksi penting terhadap upaya menjaga integritas negara di era digitalisasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *