Skandal perjudian online (judol) kembali menyeret nama aparatur negara. Seorang pegawai di lembaga Komunikasi Digital (Komdigi) diduga menerima setoran uang sebesar Rp24 juta dari bandar judi online untuk memastikan situs mereka tidak mudah diblokir oleh sistem pemerintah. Fakta ini terungkap setelah polisi melakukan pengembangan kasus jaringan judol lintas daerah yang sudah meraup keuntungan miliaran rupiah.
Modus Suap Terbongkar
Menurut keterangan kepolisian, bandar judi online menggunakan berbagai cara agar situs mereka tetap bisa diakses. Salah satunya dengan menyuap pegawai Komdigi agar memberikan akses atau trik teknis menghindari pemblokiran domain.
“Dari hasil penyelidikan, diketahui seorang pegawai Komdigi berinisial R menerima setoran Rp24 juta dari bandar. Uang itu diduga sebagai imbalan agar situs mereka tidak segera ditutup, atau untuk mendapatkan informasi teknis terkait sistem pemblokiran,” ujar Dirtipidsiber Bareskrim Polri.
Polisi menambahkan, dugaan suap ini bukan hanya sekali terjadi. Ada indikasi bahwa praktik serupa sudah berlangsung berulang kali dengan jumlah setoran yang bervariasi, tergantung pada kebutuhan jaringan judi online tersebut.
Barang Bukti Transfer
Dalam pengungkapan kasus ini, polisi mengamankan bukti transfer dana dari rekening milik bandar ke rekening pribadi oknum Komdigi. Nilainya mencapai Rp24 juta dalam satu kali transaksi. Selain itu, ditemukan pula jejak percakapan digital yang menunjukkan adanya komunikasi intensif antara keduanya.
“Percakapan WhatsApp menunjukkan bahwa oknum pegawai Komdigi bersedia membantu memperlancar operasional situs dengan imbalan tertentu. Ini jelas pelanggaran hukum sekaligus penyalahgunaan wewenang,” jelas penyidik.
Reaksi Komdigi: Janji Tindak Tegas
Kementerian Komunikasi Digital segera merespons temuan tersebut. Melalui juru bicaranya, Komdigi menyatakan akan menindak tegas pegawai yang terbukti menerima suap.
“Jika benar terbukti, yang bersangkutan akan diberhentikan secara tidak hormat. Kami juga akan bekerja sama penuh dengan kepolisian agar kasus ini terang benderang. Tidak boleh ada aparatur kami yang melindungi praktik ilegal,” ujar perwakilan Komdigi.
Judi Online: Bisnis Gelap Bernilai Besar
Kasus ini memperlihatkan betapa besar keuntungan yang dimainkan dalam bisnis judi online. Dengan omset mencapai miliaran rupiah setiap bulan, para bandar rela menyuap pejabat atau pegawai agar situs mereka aman dari pemblokiran.
Menurut pengamat IT, praktik ini ibarat “perang kucing dan tikus.” Begitu situs diblokir, dalam hitungan jam bisa muncul kembali dengan domain baru. “Kalau ada orang dalam yang ikut bermain, jelas sistem pemblokiran jadi tidak efektif,” ujarnya.
Ancaman Hukum Berat
Atas perbuatannya, oknum pegawai Komdigi berinisial R dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi serta pasal suap-menyuap. Sementara bandar judi online dikenakan pasal perjudian dalam KUHP dan Undang-Undang ITE.
“Pelaku suap maupun penerima suap akan diproses. Kami ingin memberi pesan tegas bahwa negara tidak akan mentolerir aparat yang terlibat dalam perjudian,” tegas Dirtipidsiber.
Ancaman hukumannya tidak main-main: bandar terancam pidana penjara hingga 10 tahun, sementara pegawai Komdigi dapat terjerat pasal korupsi dengan ancaman 20 tahun penjara.
Sorotan Publik
Kabar ini menimbulkan reaksi keras dari masyarakat. Banyak pihak menyayangkan adanya aparatur negara yang justru membantu bisnis haram. “Komdigi kan seharusnya jadi garda terdepan memberantas situs judi online. Kalau ada pegawai yang malah terima setoran, bagaimana publik bisa percaya?” kata seorang aktivis anti-judol.
Organisasi masyarakat sipil juga mendesak pemerintah agar segera memperketat pengawasan internal. “Harus ada sistem audit yang jelas. Jangan hanya mengandalkan blokir, tapi juga pastikan aparat yang bertugas benar-benar bersih,” ujarnya.
Penutup
Kasus suap Rp24 juta dari bandar judol kepada pegawai Komdigi ini menjadi bukti nyata betapa rawannya perang melawan judi online jika aparatur negara justru bermain di dalamnya. Masyarakat kini menunggu langkah tegas aparat penegak hukum sekaligus pembenahan internal di tubuh Komdigi agar praktik serupa tidak kembali terulang.